CURRENTLY READING: Francis Grose's Superstitions: Omens, Charms, Cures 1787

Thursday, October 23, 2014

Fond

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Let's figure it out, before you found me drowning, in the lake of fake.

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Sunday, October 19, 2014

Ingat(kah)lah



Aku pernah membaca potongan artikel (sepertinya salah satu akun twitter yang membicarakan fakta-fakta yang berdasar Google – bukannya aku tidak percaya) yang membahas bahwa ketika kita memikirkan suatu kejadian di masa lampau, sesungguhnya yang kita ingat adalah memori terakhir tentang peristiwa itu, alih-alih kejadian yang sesungguhnya. Misalnya, aku diminta menceritakan kembali tentang hari pertama masuk SMA, yang kemudian aku utarakan akan berasal dari terakhir kali aku mengingat kejadian itu (yang tentu saja sudah agak berubah dari peristiwa aslinya – bukannya aku punya ingatan fotografis atau apa – seperti ketika suatu kisah diceritakan untuk kesekian kalinya). Jadi jika aku mengingat kejadian tersebut sepuluh kali maka yang akan aku ingat untuk ke sebelas kalinya akan berdasar dari memori kesepuluh itu, bukannya kembali lagi mengingat kejadian sesungguhnya. Singkatnya, kita mungkin membuat ingatan kita sendiri. Kita menciptakan memori-memori itu dari remah-remah yag tersimpan, dari pendar-pendar yang meredup perlahan (atau tiba-tiba, bisa saja).






Selain itu, aku pernah bertanya pada temanku yang lulusan psikologi, mengapa agaknya aku hanya mengingat sebagian dari persitiwa-peristiwa yang terjadi di masa kecilku walaupun sebenarnya kejadian-kejadian itu penting? Temanku bilang bahwa mungkin saja otakku menyaring peristiwa-peristiwa tertentu (yang tidak kuingat) sebagai hal yang buruk, dan otak cenderung melindungi diri sendiri dengan tidak mengingat kejadian-kejadian yang menyakitkan itu (bahkan kesadaranmu tidak sepenuhnya bisa kau kendalikan).






Terakhir, tidakkah adegan flashback di drama televisi menggelikan? Si pemain akan memulai adegan itu dengan menatap kosong lalu cut-in ke klip-klip lama (yang dipotong dengan pergantian yang cepat). Anehnya klip tersebut menampilkan kacamata orang ketiga (atau dari kacamata pemain lain) bukannya dari sudut pandang si pemain itu sendiri (paham kan maksudku, seperti adegan yang menampakkan wajah si pemain – kau kan tidak bisa melihat wajahmu sendiri tanpa bantuan cermin, dan atau punggungmu). Tentu saja ini masalah teknis dan penonton pasti tidak akan menulis komentar negatif untuk ini. Tetap saja aku sering menganggap ini aneh, sampai kemudian aku mengalami sendiri. Saat aku benar-benar berusaha mengingat suatu kejadian aku mencitrakannya dalam otak dari sudut pandang orang ketiga. Aku mengingat bagaimana posisi orang-orang dalam adegan itu seakan aku tau apa yang dibelakang punggungku dan apa yang di sudut mataku dengan baik. Seperti ada kamera live yang menyuplai ingatanku. Semuanya mengabur dan menyaru.








Hal-hal diatas membuatku berpikir (atau mengingat? Soalnya aku sudah lama menyusun ini hanya selalu terlewatkan untuk kutulis), begitu lemahnya manusia dan kesadarannya yang dianggap membuatnya istimewa. Begitu diagung-agungkan dalam berbagai peradaban tapi sebenarnya lemah dan tersamar. Juga, tak perlu terlalu khawatir orang lain akan mengkhianatimu, menikam dari belakang. Toh kita sudah dilatih, setiap menit, otakmu sudah mengelabuhimu, melemahkan pijakanmu, menusukkan pelan-pelan jarum tipis ingatan.

Thursday, January 30, 2014

The Number You're Calling Is...

...



I still believe in you, in us.
No matter how hard it could be, no matter what others say.





I believe we are not just an old story based on memories.





I often wrote 'Until we meet again, B'.
But this time...








You know I always there.



Wednesday, January 29, 2014

Draft

Sahabatku putus cinta. Katanya sudah seminggu dia putus dengan pacarnya, lalu tidak berkomunikasi lagi. Awalnya aku diam saja, berkomentar pun tidak. Dia sudah pernah begini, woro-woro putus hubungan lalu dua hari kemudian kembali berpacaran. Tapi yang kali ini tidak, dia benar-benar putus dan tidak ada kemungkinan kembali berpacaran lagi. Topik ini jadi bahan lelucon di grup Line kami. 





Ditengah hal-hal lucu yang dibicarakan -bagaimana mantan pacar sahabatku membuat hidup kami menjadi tidak tenang, atau bagaimana nasib teman kami yang bakalan menjadi gendut karna patah hati membuat orang ingin makan terus- aku jadi mengingat-ingat rasanya patah hati.






Sejujurnya aku tidak begitu ingat rasanya patah hati atau putus cinta. Karna buatku itu bukan perasaan sekejap yang datang tiba-tiba. Buatku, patah hati itu proses, pelan-pelan menggerogoti dari dalam.



Orang bisa saja mengingat tanggal putus mereka, tapi mereka tidak pernah benar-benar yakin kapan harapan-harapan itu mulai hilang satu persatu atau kapan nada bicara mereka mulai meninggi sedikit demi sedikit. Kita (aku) sering tidak sadar kalau perasaan itu rapuh, dan hancurnya perlahan-lahan. Tidak seperti gambar-gambar ilustrasi di mana ada lambang hati terbagi dua. Seiring dengan janji yang diingkari, kebohongan-kebohongan kecil yang dibuat, nada bicara yang meninggi, air mata yang diseka diam-diam, hati yang sering dielu-elukan ini mulai merapuh.





Persis seperti iklan susu kalsium untuk lansia.