CURRENTLY READING: Francis Grose's Superstitions: Omens, Charms, Cures 1787

Saturday, December 08, 2012

Forgiveness, is for people who can't afford revenge. 

I read it somewhere. Oh, wait! It's on my mind.

Tuesday, December 04, 2012

What To Say In More Than 140 Words

Maukah kamu pulang setiap hari, untuk orang yang tak selalu menunggumu? Selicin-licinnya kebohongan, akhirnya kamu akan tergelincir dalam binar-binar bahagia matanya. Kata orang, mata tak bisa bohong. Sepandai-pandainya kamu mengarang alasan (lebih seperti dialog antara kamu dan dirimu) akhirnya kamu akan berhenti juga di kenyataan itu: bahwa bukan kamu, yang jadi rumah impiannya.




*terinspirasi dari keberanian N, dalam usahanya menemukan kebahagiaan*
*dan dari harapan pribadi akan adanya pensieve* 
(...)

Friday, October 19, 2012

Thursday, October 11, 2012

Long Scrap

Tau apa mereka tentang kebahagiaanmu?

Seorang ayah yang menahun menjadi pegawai, melarang anak gadisnya untuk menikahi seorang pengusaha. 
"Nanti hidup kamu susah, pengusaha itu tidak pasti pemasukannya."
Seorang ibu bersuamikan profesor ekonomi, melarang anaknya berpacaran dengan seniman yang kuliah disekolah seni.
"Seniman itu tidak jelas, belum tentu bisa berpenghasilan."
Seorang ayah yang waktu kuliahnya tidak banyak berkegiatan, melarang anaknya untuk keluar selain untuk kuliah. 
"Buat apa, cepat lulus dengan nilai cumlaude dan dapat beasiswa." 

Seseorang yang tinggal ditengah-tengah keluarga yang demokratis dan bebas, tak henti-hentinya mengkasihani orang lain, yang tidak bisa melawan atau menolak perintah orang tuanya yang mulai keterlaluan. 
"Kalau gue sih udah langsung gue bilang ngga dan gue tinggal aja."
Lain lagi dengan orang yang terbiasa hidup sulit, diam-diam membenci teman-temannya yang begitu mudah bepergian, mengeluarkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit. 
"Emang, gue ngga kayak lu-lu pada yang duitnya ga ada nomer serinya, gue ngga bisa temenan sama gaya hidup lu."
Tidak semua orang mau repot-repot memahami, bahwa ada bentuk kebahagiaan lain selain yang mereka tau. Bahwa ada halangan lain, selain yang mereka hadapi. Bahwa kenyataannya, tak selamanya kita diberi daya tahan dan daya serap yang sama. Untuk orang yang selalu berusaha melihat dari dua sisi, saya seringkali berdialog dengan diri sendiri. Mengurangi frekuensi saya menghakimi, karena tidak mudah menempelkan cap di hidup seseorang, hanya dengan pengetahuan yang saya punya.

Sangat wajar apabila si ayah yang pegawai, menganggap calon menantu yang berprofesi pengusaha tidak akan membuat anaknya bahagia. Karena sang ayah bukan pengusaha, dan hidupnya selama ini lebih dari cukup dengan menjadi pegawai. Sang ayah tidak mau repot-repot berpikir, bahwa ada bentuk kebahagiaan lain selain materi yang cukup dan penghasilan yang pasti. Maka, anaknya pun tidak akan bahagia jika tidak hidup seperti dirinya. Begitu juga sang ibu dan ayah yang lain. Hanya dengan menjadi seperti mereka, sukses, berkecukupan, dan hanya dengan jalan seperti mereka, orang lain bisa mencapai kebahagiaan.

Wajar pula jika seseorang yang seumur hidupnya tinggal bersama orang-orang yang mudah menerima dan mendengar, untuk mengkasihani orang lain yang seperti tidak berani memperjuangkan pendapatnya. Karena orang itu tidak pernah menghadapi orang tua yang sama dengan orang lain. Orang itu tidak sampai berpikir, bahwa ada tipe orang tua yang berbeda yang membentuk pribadi yang berbeda pula. Maka, tidak semua orang semudah itu mengeluarkan pendapat, tidak semudah itu orang menolak aturan. Sama seperti orang yang hidupnya sulit, memandang temen-temannya yang berbeda, lebih mudah untuk menolaknya, memandangnya sebagai hal yang buruk, ketimbang berusaha memahami, bahwa tidak semua orang punya kepekaan yang sama.

Seberapa besarkah waktu kita hanya untuk diam dan berpikir, kebahagiaan macam apa yang dipilih orang lain, sebelum kita mengeluarkan kata-kata hina? Tidakkah kita sadari, bahwa jalan termudah memberi kritik ketika kamu sudah diterima? Dan jalan untuk diterima, adalah dengan cara menerima dulu, bahwa ada bentuk lain dari yang kita jalani, yang kita ketahui.

Hidup lebih lama tidak selalu menjadikanmu lebih dapat merasa. Ilmu yang lebih tinggi tak menjaminmu lebih mengerti. Bahwa kerendahatian adalah kunci kecilmu untuk masuk ke kebahagiaan orang lain.




Cheers, D

Monday, October 08, 2012

How long has it been since someone touched part of you other than your body? - Laurel Hoodwrit

Monday, August 13, 2012

Scrap

Kamu tau kamu cuma main-main.
Kamu tau kemana ini akan berakhir.
Kamu tau kamu akan buang-buang waktu.
Kamu tau, tapi kamu tidak mau berhenti.
Kamu tutup rapat-rapat, kamu bebat.
Tapi tetap saja kamu puja bekas luka yang kamu jaga.
Rapuh tapi menawan, untukmu.


Aku pikir ada yang meredup dari kamu. Lalu aku sadar itu aku.

11.8.2012

Selamat ulang tahun, untuk kamu, yang tak pernah benar-benar dekat, dan tak pernah bisa jauh-jauh. Kamu, yang akan terakhir tau aku sedang apa. Aku, yang tidak pernah tau apa yang kamu rasakan. Kita, yang tak pernah lelah menebak-nebak. Kita, yang akan selalu berjarak. Kita, yang tak perlu menunggu dua belas bulan, hanya untuk saling kirim doa.




With love, D

Monday, May 21, 2012

Green Wedding

Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket
Photobucket

Selamat atas pernikahannya, Tante Finna dan Om Wawan, semoga kebahagiaan selalu melingkupi, kebaikan menyertai.

Thursday, May 17, 2012

Kunang-kunang

Kenapa kunang-kunang?
Mereka kecil, terang dan hidupnya tidak panjang.
Kamu berharap ada banyak kunang-kunang di satu waktu kamu melihat.
Kalau cuma satu, kamu sering tidak menyadari kehadirannya.
Dua tiga lalu lima puluh.
Coba berkedip satu dua kali.
Lalu beratus-ratus kunang-kunang perlahan menyeruak.
Sedetik kamu terhenyak.
Seberapapun banyak kunang-kunang, tidak akan menyinari gelapmu, dan tidak akan berarti di siangmu.
Mereka cuma indah.
Titik.
Lalu hilang tertelan lelah.
Katanya kunang-kunang itu muncul dari kuku orang mati.

Rasa-rasanya aku ingin segera melihat kunang-kunangku.

Friday, March 23, 2012

"We have no scar for happiness"

Kemarin malam aku bermimpi.
Rumah merah dengan sebuah televisi.
Ngomong-ngomong, televisi itu lucu ya.
Kamu bisa melihat tapi tidak bisa menyentuh, kamu bisa mendengar tapi tak bisa didengar, untung kamu tidak bisa mencium.
Televisi di dalam rumah merah itu berpendar malu-malu.
Aku agak lupa, siarannya berwarna atau tidak.
Ada orang lucu bertopi kecil.
Tangannya menggapai-gapai kaki besar disampingnya.
Setelah berhasil menyentuh celana si kaki besar, kaki itu melangkah pergi.
Si orang lucu bertopi kecil berusaha mengejar, tapi tak kunjung dapat.
Tak lama terlihat versi besar adegan itu.
Ternyata si orang lucu bertopi kecil hanya berlarian diatas roda putar (seperti hamster milik nenekku)!
Si kaki besar sudah tidak terlihat, hanya ada suara langkahnya yang lama-lama menghilang.
Lalu acara tv nya tiba-tiba berganti, dan aku mendengar gemerisik ranting di luar rumah merah.
Anehnya, aku tidak takut.
Dari arah televisi terdengar gedebuk kencang, aku segera kembali memusatkan perhatian ke televisi itu.
Ternyata ada anak tupai melompati ranting-ranting pohon.
Anak tupai itu menggondol sesuatu.
Tak lama tampak ibu tupai, dia terlihat marah.
Cukup satu lompatan lagi dan anak tupai akan berdampingan dengan ibu tupai.
Saat si anak tupai melakukan lompatan terakhirnya.... Buk! Dia jatuh terkulai di dasar hutan, yang anehnya, penuh dengan marshmallow.
Aku takut, dan tiba-tiba ada remot biru dan pisau hijau di sampingku.
Saat ku genggam pisau hijau itu, pintu rumah merah tiba-tiba terbuka, karna terkejut, pisau hijau itu terlepas dan menggores lengan kiriku.
Darah merembes keluar, tapi kemudian melayang diatas kepalaku, gumpalan-gumpalan merah semerah rumah merah.
Gumpalan itu sebagian keluar melalui pintu yang terbuka.
Aku mengambil remote biru, mematikan televisi.
Seolah tehipnotis aku mengikuti gumpalan merah keluar rumah merah.
Belum sempat aku menutup pintu rumah merah, ada yang mengetuk pundakku.
Saat aku berbalik badan, aku terbangun, dan televisi di samping tempat tidurku masih berpendar malu-malu.