Sahabatku putus cinta. Katanya sudah seminggu dia putus dengan pacarnya, lalu tidak berkomunikasi lagi. Awalnya aku diam saja, berkomentar pun tidak. Dia sudah pernah begini, woro-woro putus hubungan lalu dua hari kemudian kembali berpacaran. Tapi yang kali ini tidak, dia benar-benar putus dan tidak ada kemungkinan kembali berpacaran lagi. Topik ini jadi bahan lelucon di grup Line kami.
Ditengah hal-hal lucu yang dibicarakan -bagaimana mantan pacar sahabatku membuat hidup kami menjadi tidak tenang, atau bagaimana nasib teman kami yang bakalan menjadi gendut karna patah hati membuat orang ingin makan terus- aku jadi mengingat-ingat rasanya patah hati.
Sejujurnya aku tidak begitu ingat rasanya patah hati atau putus cinta. Karna buatku itu bukan perasaan sekejap yang datang tiba-tiba. Buatku, patah hati itu proses, pelan-pelan menggerogoti dari dalam.
Orang bisa saja mengingat tanggal putus mereka, tapi mereka tidak pernah benar-benar yakin kapan harapan-harapan itu mulai hilang satu persatu atau kapan nada bicara mereka mulai meninggi sedikit demi sedikit. Kita (aku) sering tidak sadar kalau perasaan itu rapuh, dan hancurnya perlahan-lahan. Tidak seperti gambar-gambar ilustrasi di mana ada lambang hati terbagi dua. Seiring dengan janji yang diingkari, kebohongan-kebohongan kecil yang dibuat, nada bicara yang meninggi, air mata yang diseka diam-diam, hati yang sering dielu-elukan ini mulai merapuh.
Persis seperti iklan susu kalsium untuk lansia.
Ini baguuus!
ReplyDeletehehehehehe :">
Delete