CURRENTLY READING: Francis Grose's Superstitions: Omens, Charms, Cures 1787

Wednesday, January 29, 2014

Draft

Sahabatku putus cinta. Katanya sudah seminggu dia putus dengan pacarnya, lalu tidak berkomunikasi lagi. Awalnya aku diam saja, berkomentar pun tidak. Dia sudah pernah begini, woro-woro putus hubungan lalu dua hari kemudian kembali berpacaran. Tapi yang kali ini tidak, dia benar-benar putus dan tidak ada kemungkinan kembali berpacaran lagi. Topik ini jadi bahan lelucon di grup Line kami. 





Ditengah hal-hal lucu yang dibicarakan -bagaimana mantan pacar sahabatku membuat hidup kami menjadi tidak tenang, atau bagaimana nasib teman kami yang bakalan menjadi gendut karna patah hati membuat orang ingin makan terus- aku jadi mengingat-ingat rasanya patah hati.






Sejujurnya aku tidak begitu ingat rasanya patah hati atau putus cinta. Karna buatku itu bukan perasaan sekejap yang datang tiba-tiba. Buatku, patah hati itu proses, pelan-pelan menggerogoti dari dalam.



Orang bisa saja mengingat tanggal putus mereka, tapi mereka tidak pernah benar-benar yakin kapan harapan-harapan itu mulai hilang satu persatu atau kapan nada bicara mereka mulai meninggi sedikit demi sedikit. Kita (aku) sering tidak sadar kalau perasaan itu rapuh, dan hancurnya perlahan-lahan. Tidak seperti gambar-gambar ilustrasi di mana ada lambang hati terbagi dua. Seiring dengan janji yang diingkari, kebohongan-kebohongan kecil yang dibuat, nada bicara yang meninggi, air mata yang diseka diam-diam, hati yang sering dielu-elukan ini mulai merapuh.





Persis seperti iklan susu kalsium untuk lansia.

2 comments: